Ada sebuah kisah penuh makna dari Aisyah r.a. Suatu hari, seorang Arab dusun datang kepada Nabi SAW dan bertanya, “Engkau mencium anak-anak, sedangkan kami tidak pernah mencium mereka.”
Nabi SAW menjawab, “Apa dayaku apabila Allah telah mencabut kasih sayang dari hatimu?” (HR. Bukhari)
Jawaban yang singkat, namun menampar hati kita hari ini. Karena, kasih sayang pada anak bukan sekadar naluri, tapi adalah bagian dari iman dan warisan akhlak Rasulullah SAW.

Rasulullah SAW: Sosok Ayah yang Lembut dan Dekat
Nabi SAW mencontohkan bentuk kasih sayang dengan begitu nyata dan sederhana. Beliau pernah menggendong cucunya, Umamah binti Abi al-Ash, saat sedang melaksanakan shalat. Ketika rukuk, Umamah diletakkan. Setelah bangkit dari rukuk, beliau mengangkatnya kembali. Sungguh, ibadah dan cinta bisa berjalan beriringan.
Pernah pula beliau menjadi “kuda-kudaan” untuk Hasan dan Husain. Saat beliau merangkak, kedua cucunya naik ke punggungnya. Melihat itu, Umar bin Khattab r.a berkata, “Hai anak-anak, alangkah indah tunggangan kalian!” Rasulullah SAW menjawab sambil tersenyum, “Dan alangkah indahnya penunggangnya!”
Tidak hanya itu. Rasulullah SAW sering melucu dengan anak-anak. Beliau jongkok di hadapan mereka, menyapa dengan lembut, mendoakan mereka satu per satu. Usamah bin Zaid pernah bercerita, “Rasulullah pernah mendudukkan aku di satu pahanya dan Hasan di pahanya yang lain. Beliau mendekap kami dan berdoa, ‘Ya Allah, kasihanilah keduanya karena aku mengasihi keduanya.’” (HR. Bukhari)
Refleksi: Bagaimana Peran Kita sebagai Ayah Hari Ini?
Kisah-kisah itu bukan hanya nostalgia indah tentang Nabi, tapi seharusnya menjadi cermin bagi kita. Hari ini, ketika kita mengaku sebagai umat Muhammad SAW, sejauh mana kita mewarisi teladan beliau?
Sudahkah kita mengusap kepala anak-anak kita seperti yang dilakukan Rasulullah SAW?
Sudahkah kita mengecup kening mereka, bukan sekadar rutinitas, tapi karena mereka rindu kasih sayang dari sang ayah?
Atau jangan-jangan, tanpa sadar kita menyerupai Aqra’ bin Habis, yang tidak pernah mencium anak-anaknya? Hingga Nabi SAW bersabda, “Barang siapa tidak menyayangi, maka ia tidak akan disayangi.” (HR. Bukhari)
Pertanyaan-pertanyaan ini tidak perlu dijawab lantang di hadapan orang lain. Tapi cukup kita jawab jujur, di dalam hati—sebagai ayah, suami, dan manusia.
Bermain Bukan Sekadar Main: Ini Investasi untuk Akhirat
Seperti perkataan Buhlul, bermain bersama anak, bercanda, bahkan membuat rumah-rumahan dari tanah liat bukan hal remeh. Itu adalah jalan untuk meraih akhirat dan seisinya. Kita sedang menanam cinta dan ketenangan dalam hati mereka.
Ketika kita membiarkan anak tertawa di punggung kita, itu bukan pelecehan terhadap wibawa. Itu justru bentuk kekuatan. Kita sedang membangun jembatan jiwa, menyalurkan energi kasih yang mereka butuhkan untuk tumbuh menjadi pribadi yang utuh dan kokoh.
Jika Ayah Tak Hadir di Ruang Jiwa Anak…
Penelitian psikologi menunjukkan bahwa anak yang kehilangan figur ayah dalam kehadiran emosional sering mengalami “masked deprivation” kekosongan batin yang tersamar. Mereka tampak baik-baik saja di luar, namun jiwanya terluka dalam diam. Sebaliknya, ayah yang hadir meski hanya seminggu sekali dengan kualitas yang utuh akan membentuk pondasi emosional yang sehat bagi anak.
Mari kita mulai dari hari Sabtu ini. Jadikan akhir pekan bukan hanya tentang libur, tapi tentang hadir utuh untuk anak-anak kita. Peluk mereka, dengarkan cerita-ceritanya, dan beri ruang bagi jiwa mereka untuk tumbuh dengan cinta.